Minggu, 19 Februari 2012

Who am I...?


February, 9 2012
By Coretanku
 Senja yang tak di undang itu perlahan datang merenggut secercah cahaya dari Matahari. Kebanyakan orang memanfaatkan waktu itu untuk beristirahat sambil meminum secangkir kopi untuk mengembalikan stamina ditubuh mereka, tetapi tidak semua orang memanfaatkannya untuk meminum secangkir teh itu, banyak juga yang memanfaatkan waktu itu untuk berlari kearah barat pantai Lhoknga, kota Banda Aceh hanya demi mendapatkan kepuasan dengan melihat Matahari bersebunyi kearah lain dari Bumi ini. Aku masih belum mengerti entah kepuasaan apa yang mereka dapatkan dari kejadian itu. Bahkan aku terheran-heran melihat tingkah laku mereka yang menyaksikan kejadian itu. Berbagai Ekspresi mulai dari senyum, tertawa, bahkan ada yang menangis dan berteriak histeris ketika menyaksikan kejadian itu di depan mata mereka. “Gila, cuma melihat hal seperti itu mereka sampai menangis…? Sungguh aneh orang-orang itu” kata hatiku sambil tersenyum sendiri.
Malam mulai menghampiri bumi. Moment Sunset yg mereka anggap sangat indah hilang begitu saja bersamaan dengan angin yang berhembus dari laut ke daratan itu. Para Nelayan pun kembali kerumahnya masing-masing untuk menghampiri keluarga kecil yang ditinggalkannya sejak malam kemarin. Aku menikmati waktu malamku dengan ditemani sang pena yang di pinjamkan dan buku yang cukup murah harganya untuk memfiktifkan semua yang terjadi dihadapanku hari ini.Aku menuliskan satu cerita yang didalamnya menjelaskan bahwa aku tidak mengetahui siapa aku, mengapa dan untuk apa aku diciptakan. Sungguh semua itu adalah pertanyaan yang sangat-sangat mengherankan untuk ku. Selama bertahun lamanya, Aku melangkah sendiri didalam garis kesuraman yang aku tak tau kapan aku akan menjumpai cahaya walaupun itu hanya setitik saja untuk ku menghapus kesuraman akan diriku sendiri. Dengan sombongnya, aku menganggap bahwa aku telah memiliki segalanya. Karena materi dan ilmu yang aku punya, dengan sombongnya aku berkata, “Aku Kaya dan Aku orang Pintar. Jadi aku tak meemrlukan siapapun didalam hidupku”.
Aku berjalan menerjang angin nan mesra, sambil menuai sebuah cerita yang tak akan ada habisnya kecuali sang pena telah kehabisan tinta untuk melanjutkan cerita itu. Tubuh selalu terurai lembut ketika anak panah pada arloji yang ada di kamarku mengarah ke angka 12 sebagai tanda hari ini telah berakhir. Ku dapati sebuah mimpi nan meng-suramkan. Aku menyaksikan aku tercambuk oleh diriku sendiri. Aku terkejut dan terbangun dari kisah suram itu. Tubuhku tersentak ketika mendengar diriku berkata, “Kau telah mendzalimi dirimu sendiri”.

Aku mulai merenungkan tentang apa maksud dari semua ini. “Aku mendzalimi diriku sendiri…? Apa yang sebenarnya terjadi…? Semua ini sungguh benar-benar gila.” Kata ku mengherankan. Pikiranku seolah berputar seperti roda sepeda yang dikayuh dan terus dikayuh oleh pengendara sepeda tersebut. Roda itu terkadang berputar secara perlahan, namun juga sering kali berputar cepat, lebih cepat, bahkan sangat cepat. Semua ini diluar dari kendaliku. Entah apa dan siapa yang membuat semua ini tak terkendali, aku pun tidak mengetahuinya. Aku kembali melangkah dan terus mengayunkan kaki dan tanganku mengikuti kemana arah angin akan tubuhku yang tampak rapi dengan pakaian dan segala benda yang menghias tubuh indahku ini. Dengan dada yang membusung tegak, aku kembali berkata “Aku lah yang terhebat”. Semua hanya bisa diam ketika aku berbicara, namun tidak pada pada rerumputan. Mereka seolah mencemoohkan aku dengan tarian yang disertakan irama lagu nan indah ketika mendengar aku bertinggi hati. Mengapa…? Tanya ku. Lelah ku bertanya, tetapi masih saja aku tak mendapatkan satu jawabanpun dari hal itu. Bermacam pertanyaan yang tak terjawab olehku kini semakin bertambah dan menumpuk bagai bongkahan emas yang tertimbun tanah yang ku tak tau sedalam mana harus ku gali agar dapat mencapai bongkahan emas tersebut. Bel telah berbunyi. Ku dapati semua murid memasuki kelas dengan tertib. Jum’at, waktunya pelajaran agama islam. Di awal pelajaran, pak Muhammad Shabri, yang kerap kami panggil pak Shabri mengawali pelajaran itu dengan mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim” dan membaca shalawat. “Materi hari ini adalah awal agama islam” kata pak Shabri. Aku yang bersikap acuh tak acuh padanya menjadi sorotan olehnya. Terus menerus hanya aku yang di tanyai dan diminta bertanya. Aku merasa sombong akan hal itu. Aku menganggap aku telah mengetahui semua. Aku merasa bahwa aku telah mengetahui semua hal dari 1034 buku yang ku baca. Mulai dari dongeng hingga karya ilmiah, aku menganggap semakin banyak buku yang aku baca maka aku akan bertambah tau akan suatu perkara. Hal ini bertentangan dengan yang disampaikan pak Shabri kepadaku. Dia mengatakan bahwa “semakin banyak buku yang kita baca, maka semakin kita tau bahwasannya banyak hal yang belum kita ketahui”.



                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              continue...