Minggu, 11 Maret 2012

Kutipan dari Kitab Adurrunnafis



( sebelum baca, saya harapkan memfidyahkan bacaan surah Alfatihah 1x saja kepada Syekh Muhammad Nafis Bin Idris Al-Banjari )

Nisbah Perbuatan
Dalam sejarah perjuangan Rasulullah Saw. di Makah khususnya, beliau tidak pernah mendoakan kaum quraisy dan orang2 yang menyakitinya, melainkan: "Ya Allah ampunilah mereka, karena sesungguhnya mereka tidak tahu." Ini doa beliau untuk mereka.

Sifat beliau ini dapat dijadikan cermin bagi orang-orang yg sedang menuju kepada-Nya. "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.

Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (Ali 'Imran: 159)

Hidayah

Dengan hidayah tersebut, seseorang dapat mengatasi syirik yang meliputi perjalanan menuju kepada-Nya. Dengan hidayah itu pula, seseorang dapat membangun kesadaran di dalam memandang dan meyakini segala wujud majazi (metafora) itu fana. Yakni sesuatu yang tampak secara kasat mata maupun mata hati, sirna di bawah Nur Wujud Allah yang merupakan Wujud hakiki. Inilah yang dinamakan syuhud.

Syuhud adalah memahami segala perbuatan makhluk bersumber dari Allah SWT. Untuk mencapainya, harus melalui proses mengamalkan pemahaman tersebut, kendatipun pemahaman itu tumbuh secara bertahap sampai benar-benar yakin, Jika syuhud telah terpelihara di dalam hati, maka pada akhirnya akan merasakan pula lezatnya musyahadah.

Musyahadah itu penyaksian terhadap sesuatu dan dikembalikan kepada Allah. Penyaksian di sini, "melihat" secara jelas perbedaan antara lahir dan batin pada diri sesuatu, yang keduanya tidak bercampur dalam satu wujud, juga tidak berpisah dalam lain wujud. Jika telah mengalami musyahadah, maka proses selanjutnya mengantarkan seseorang pada maqam (tingkatan) Wihdatul Af'al.

Baik & Buruk

Pengertian Wihdatul Af'al ialah ke-Esa-an Allah dalam segala perbuatan. Pada maqam ini, terjadi fana atau peniadaan pada perbuatan makhluk, baik perbuatan sendiri maupun orang lain, bahkan semua perbuatan yg dilakukan oleh makhluk, seluruhnya fana di bawah Perbuatan Allah SWT.

Dengan pengertian, manakala perbuatan makhluk dihadapkan kepada Perbuatan Allah niscaya perbuatan makhluk itu menjadi lenyap tidak kelihatan, seperti lampu pijar 5 watt yang nyala disiang hari dan dihadapkan pada cahaya matahari. Begitu pula seluruh perbuatan yang terjadi di alam semesta, apakah perbuatan itu baik atau buruk, semuanya dilihat sebagai Perbuatan Allah SWT.

Karena pada persoalan ini, masih banyak orang yang melihat perbuatan Allah itu hanya dari sisi pengagungan, artinya melihat Allah hanya dari persoalan yang baik-baik saja sesuai kacamata makhluk, seperti perbuatan baik yang meliputi makhluk dapat dengan mudah dinisbahkan kepada
Allah dan setiap orang bisa menerimanya secara aksiomatis.

Berbeda dengan perbuatan tercela, banyak orang tidak menerima jika perbuatan buruk yang keluar dari makhluk dinisbahkan kepada Allah. Padahal baik dan buruk itu hanya sebuah nama yang menjadi simbol hukum dalam menentukan sikap sebagai paradigma syariat.

Perlu dipertegas di sini, tauhid itu lepas dari ikatan hukum
lahiriah, meskipun tidak keluar dan lepas dari rangkaian tali-tali Syariat Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Adapun yang menjadi dalil untuk mengatakan bahwa perbuatan tidak baik tersebut juga bersumber dari Allah SWT adalah sebagaimana hadis Nabi Saw. dalam doanya yang termaktub pada Kitab Addurun Nafis: "Ya Tuhanku. Sesungguhnya aku berlindung dengan-Mu dari-Mu."

Doa ini, dapat ditafsirkan sebagai permintaan beliau dalam berlindung kepada Allah, dari segala bentuk kejahatan yang datangnya juga dari Allah. Seandainya kejahatan itu bukan dari Allah, tentu saja Nabi kita tidak akan berdoa dengan doa seperti itu.

Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa segenap perbuatan, baik dan buruk pada dasarnya berasal dari Yang Satu yaitu Allah SWT, hal ini juga ditegaskan dalam Alquran "Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah." (An Nisaa': 78).

Di antara arifin billah (orang yang telah mengenal Allah), ketika menggambarkan perbuatan baik dan buruk yang ada di alam semesta ini, membuat ilustrasi hubungan antara hamba dengan Tuhan, melalui perumpamaan wayang dengan dalang.

Hamba diumpamakan sebagai wayang sedangkan Tuhan diumpamakan sebagai dalangnya. Wayang bergerak ke sana ke mari dan menjalankan perannya sesuai dengan keinginan sang dalang. Demikian juga makhluk,perbuatannya selalu di bawah kendali Sang Khalik.

Perumpamaan ini hanya sekedar mendekatkan paham saja, bukan pada yang sebenarnya. Maha Suci Allah dari segala perumpamaan yang tidak layak bagi diri-Nya. Gambaran pemahaman tersebut, kendati di satu sisi sebagai upaya mengarahkan pemahaman yang tidak harus dimaknai secara hakiki.

Namun di sisi lain, adalah contoh pelajaran kepada para pejalan yang sedang menuju Allah, agar di dalam mempelajari ilmu tauhid dan hakikat tidak melanggar syariat Nabi Besar Kita Muhammad Saw. "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu." (Muhammad: 33)

Wayang hanya sekedar benda mati yang dihidupkan oleh yang hidup (dalang), maka bagaimana wayang bisa mengakui punya sesuatu, tidak punya sesuatu saja, tidak punya. "LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAHIL 'ALIYYIL 'AZHIIM" (Tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan daya dan upaya Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).

Zindik & Murtad

Jika telah mengerti hakikat perumpamaan tersebut, maka seyogianya dalam kondisi apapun, wajib bagi para salik mengerjakan segala perintah dan menjauhi setiap larangan Allah dan Rasul-Nya dengan bimbingan seorang Mursyid.

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An Nisaa': 59).

Karena, siapa pun orang yang sudah sampai pada maqam ruhaniah tertentu, dan seberapa pun tinggi maqam yang telah dicapainya, hal itu tidak menjadi alasan untuk kemudian menggugurkan taklif syara' (tanggung jawab syariat). Sebab ketika syariat diabaikan, maka saat itulah seseorang menyandang predikat Kafir Zindik. Na'udzubillahi
Minzdalik (kita berlindung kepada Allah dari hal yang demikian).

"Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (Ali 'Imran: 32). Berarti, kendati sudah mencapai maqam tauhidul af'al misalnya, lalu serta-merta boleh mengabaikan Syariat Islam, tentu saja tidak! Oleh karena itu, di samping meneguhkan diri dalam posisi tauhidul af'al, juga harus senantiasa berpegang kepada syariat Nabi besar Muhammad Saw.

Kendati dalam maqam tauhidul Af'al, seorang salik harus menyaksikan dengan pandangan hatinya, bahwa perbuatan baik dan jahat itu berasal dari Allah SWT. Maksudnya, agar terlepas dari bahaya syirik khafi maupun lainnya yang dapat menghalangi untuk sampai kepada Allah SWT.

Sebab, jika masih menganggap setiap perbuatan yang dilakukan itu sebagai perbuatan sendiri, maka berarti belum terbebas dari syirik khafi maupun syirik jali, yang keduanya merupakan penghalang sampai kepada-Nya.

"Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah." (Yusuf: 106).

Ayat ini menggambarkan bahwa kebanyakan manusia itu tidak beriman kepada Allah, bahkan banyak yang menyekutukan-Nya dengan sebab memandang wujud selain Allah. Hal ini terjadi, karena menganggap perbuatan yang keluar dari makhluk dikembalikan kepada makhluk, seharusnya: "INNAA LILLAAHI WAINNAA ILAIHI RAJI'UUN" (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali).

Berkaitan dengan surat Yusuf ayat 106 di atas. Sayyid Umar Ibn Al Farid ra. menyatakan: "Andaikata terlintas di dalam hatiku suatu kehendak selain kehendak-Mu, jika diriku lupa sekalipun maka kuhukumkan diriku Murtad."

Di kalangan arifin billah, banyak yang mempunyai komitmen seperti beliau. Dengan nada radikal memvonis dirinya Murtad, hanya karena lupa sejenak kepada Allah. Bagi para salikin, sebaiknya jangan ikut-ikutan seperti mereka yang telah sampai kepada-Nya. Cukup menata diri jadi orang Mukmin yang sejati. Kemudian senantiasa belajar memandang bahwa tidak ada yang berbuat dan tidak ada yang hidup dalam wujud alam ini, kecuali Allah SWT.

Surga Ma'rifah

Dengan menjadi seorang Mukmin yang sejati, bahkan menyandang predikat ahli tauhid. Maka balasan surga menjadi pantas dilimpahkan kepadanya. "Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya memperoleh dua Surga." (Ar Rahman: 46).

Seorang Mukmin sejati akan memperoleh dua kenikmatan surga:

Surga ma'rifah kepada Allah di dunia ini. Surga ini dapat digambarkan dengan kesenangan seorang hamba yang benar-benar telah mengenal Tuhannya.

Surga akhirat, surga yang umumnya telah dipahami oleh kebanyakan orang-orang yang beriman, sebagaimana digambarkan dalam Alquran maupun Alhadits.

Syekh Abdullah Ibn Hijazi Asy Syarqawi Al Misri ra. berkata: "Barang siapa yang masuk ke dalam surga ma'rifah di dunia ini, niscaya ia tidak merindukan surga akhirat dengan nisbah bidadari-bidadari yang molek dan semua kenikmatan yang ada di dalamnya. Kerinduannya terhadap surga akhirat itu, tidak lain ingin berjumpa dengan Allah."

Perbedaan sikap di dalam memandang surga, antara arifin billah dengan orang awam disebabkan: arifin billah itu sebagai pelaku dalam surga ma'rifah, berbeda dengan orang awam yang hanya bisa mendambakan kenikmatan surga akhirat.

Senin, 05 Maret 2012

FUNGSI TAREKAT SYATTARIYAH: SUATU TELAAH FILOLOGIS

Oleh : Drs. Istadiyantha, M.S.

ABSTRACT
Syattariyah (Syaththariyyah) manuscript is one of Syeh Abdurrauf Assingkeli’s works. He was welIknown to be an Ulama of mystic sect of Islam (Ulama sufi) and a leader of Tarekat Syattariyah in the Nusantara. The Tarekat Syattariyah was one of the name of available 161 tarekats. The name of this tarekat was relevant to the name of its first leader, Syeh Abdullah Syattari (Syaththari), a leader of mystic sect of Islam from India who had died in 1428.

In this work are presented the relevance between the doctrine of mystic and the straightest, truest tarekat, and between Tarekat Syattariyah and syariat (Islamic Law). The purpose of this discussion is to give a way-out of different views in understanding Syattariyah. One view said that the doctrine of Syattariyah had deviated from Islamic Law, while another said that it was still on its guidelines.

For further presentation, the last chapter talks about a chapter of analysis of function. The meaning of function in this discussion is as what the writer meant in his work: What the writer’s purpose in making such work and what the function of sections in the whole texts are. Such function consists of structural, main, and subfunction. In the continued discussion another term of subfunction is called general function; main function, special function. This thesis is expected to give a useful contribution for spiritual foundation.

Key words: Syattariyah manuscript — the doctrine of Syattariyah — analysis of function.


1. Pendahuluan

1) Latar Relakang

Pada abad ke-16 dan 17 kita kenal beberapa ulama sufl di Aceh yang besar sumbangan pemikirannya bagi penyiaran agama Islam dan kesusasteraan Melayu. Mereka adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Assamatrani, Nuruddin Arraniri, dan Abdurrauf Assingkeli. Tokoh sufi yang disebut terakhir ini menulis beberapa kitab antara lain: Terjemahan Tafsir Baidhawi ke dalam bahasa Melayu, Daqa,iqu ‘I-Huruf  ’Umdatu ‘l-Muhtajin ila Suluk Maslaki ‘I-Mufradin, Mir’atu  ‘t- Tullab, At-Tariqatu ‘sy-Syattariyyah (Syattariyah pen.), Bayan Tajalli Hidayatu ‘l-Balighah (Peunoh Daly dalam Siti Baroroh Baried, 1985:297; Liaw Yock Fang, 1975: 197-198). Sejumlah karya tersebut memperkaya perbendaharaan pengetahuan keagamaan dan kesusasteraan Melayu.
Karya Syeh Abdurrauf yang berjudul Syattariyah dijadikan objek dalam makalah ini. Naskah Syattariyah ditulis oleh Syeh Abdurrauf berdasarkan anjuran Ratu Shafiyyatu d-Din yang memerintah di Aceh tahun 1641-1675. Kecuali itu Ratu juga meminta kepada Syeh Abdurrauf agar ia dibimbing untuk menjalankan ajaran tarekat dan tasauf. Ikut sertanya Ratu Shafiyatu d-Din dalam bidang Tarekat Syattariyah pada khususnya dan bidang tasauf pada mumnya, dapat memperkuat kedudukan ajaran yang dibawa oleh Syeh Abdurrauf.
Dalam pembahasan ini, istilah Syattariyah dilihat dari dua sisi: sisi pertama, Syattariyah sebagai nama suatu aliran tarekat; kedua, sebagai judul suatu naskah Syattariyah, sebagai nama aliran tarekat sudah banyak yang membicarakannya, tetapi Syattariyah sebagai judul suatu naskah sampai sekarang belum banyak yang membahasnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh dua hal: Pertama, terbatasnya jumlah peneliti dibandingkan dengan jumlah naskah Melayu yang ada menyebabkan sejumlah naskah belum dapat diteliti. Kedua, Tarekat Sattariyah sering dianggap sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam (Snouck Hurgronje, 1894: 17-18; Schrieke, 1973: 24-27) sehingga diperkirakan timbul keengganan peneliti untuk membahasnya. Di pihak lain, terhadap isi ajaran tarekat ini ada yang menganggapnya sesuai dengan batas-batas ajaran Islam.

2) Permasalahan

Kebenaran aliran Tarekat Syattariyah jika ditinjau dari segi syariat, sering menarik perhatian dari beberapa pengamat. Satu pihak menganggap tarekat itu sebagai ajaran yang sesat, di lain pihak menganggapnya sebagai suatu aliran yang sesuai dengan syariat Islam. Ulama yang membenarkan ajaran tarekat tersebut diperkirakan karena dua hal: pertama, mereka berasal dari kelompok aliran tersebut sehingga penilaiannya bersifat subjektif. Kedua, ulama vang memberikan pandangannya itu dengan membedakan antara ajaran tarekat dengan penganutnya, dengan asumsi bahwa ajarannya tetap dipandang sebagai ajaran yang benar tetapi penganutnya yang diperkirakan terpengaruh oleh unsur kepercayaan lain.
Berdasarkan atas pendapat di atas, maka dirasa perlu mengadakan pembahasan terhadap naskah Syattariyah, dengan harapan agar kajian terhadap kandungan naskah tersebut berfaedah bagi pembangunan bidang spiritual.

3) Perumusan Masalah

Masalah pokok yang akan dibahas di sini meliputi:
(1) Seberapa jauh kebenar an ajaran tarekat Syattariyah ditinjau dari segi syariat?
(2) Apakah fungsi yang terkandung di dalam teks dan ajaran Tarekat Syattariyah?

4) Landasan Teori

Setiap karya sastra memerlukan metode analisis sesuai dengan sifat dan strukturnya (Teeuw, 1984:36). Antara jenis sastra yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan struktur, oleh karena itu jenis sastra bukanlah suatu sistem yang kaku, tetapi berobah terus secara luwes (id.: 112-113). Lebih lanjut dikatakan bahwa peneliti-peneliti sastra harus mengikuti perkembangan itu di dalam penelitiannya (id.).
Jenis sastra merupakan mata rantai yang menghubungkan karya sastra individual dengan dunia sastranya (Scholes, 1977: 128). Jenis sastra menunjukkan corak tersendiri sesuai dengan konvensi yang melatarbelakanginya. Jenis tersebut adalah: puisi, drama, dan prosa (Fakultas Sastra UGM, 1982: 83). Sastra kitab di sini termasuk jenis prosa, sesuai dengan pernyataan Abrams bahwa prosa sebagai suatu gubahan yang tidak menggunakan pola sajak (id.:183).
Pada mulanya yang menyebut Kitab sebagai ragam sastra adalah Hooykaas, Emeis, dan Brakel (id.: 149-150). Lebih tegas lagi A. Majid Ibrahim di dalam pengantar penerbitan kembali karya-karya Abdurrauf, menyatakan bahwa karya itu sebagai hasil karya sastra yang berasal dari Islam, berupa kitab-kitab agama yang digolongkan ke dalam kesusasteraan kitab (id.: 150). Struktur sastra kitab memiliki kekhasan tersendiri. Struktur yang dimaksud di sini adalah struktur narasi sastra kitab, sebagai struktur penyajian teks (id.: 152-153) yang meliputi manggala atau pendahuluan, isi, dan penutup.
Ilmu sastra meneliti sifat-sifat yang terdapat di dalam teks sastra, untuk mengetahui bagaimana teks-teks tersebut berfungsi di dalam masyarakat. Ilmu sastra yang dimaksud di sini adalah ilmu sastra secara umum (Luxemburg, 1984:2). Lebih lanjut dikatakan bahwa mempelajari sifat-sifat sastra secara sistematis akan dapat membantu kita untuk mengerti teks itu. Sifat-sifat sastra tersebut merupakan sesuatu ciri khusus yang terkandung di dalam setiap jenis sastra yang bertalian dengan fungsinya di dalam masyarakat.
Di antara beberapa pengertian fungsi, terdapat beberapa pengertian fungsi yang sesuai dengan pembahasan ini a.l. Ekadjati, Braginsky, dan Horatius. Menurut Ekadjati fungsi ialah apa yang dituju oleh pengarang di dalam karangannya. Apakah maksud pengarang membuat karangan demikian itu dan apakah fungsi bagian-bagian karangan tersebut di dalam keseluruhannya (1980/1981 : 21).
Braginsky dalam penelitiannya terhadap karya-karya sastra Melayu menggariskan adanya tiga lingkaran fungsi ialah: lingkaran fungsi keindahan, lingkaran fungsi kemanfaatan, dan lingkaran fungsi kesempurnaan jiwa (Imran Teuku Abdullah, 1988: 76). Kecubli itu, Horatius mengemukakan bahwa tugas dan fungsi penyair adalah memberikan faedah dan memberikan hiburan atau utile et dulce (Teeuw, 1984: 183-184). Oleh Teeuw dipertanyakan hal manakah yang harus diutamakan di antara utile dan dulce tersebut. Sampai sekarang belum diketahui secara eksplisit tentang pandangan tradisional Indonesia terhadap fungsi sastra, tetapi secara implisit diketahui bahwa aspek moral lebih didahulukan daripada aspek estetisnya (id.: 183-184).

Berdasarkan pendapat di atas, analisis fungsi yang dimaksud di sini dapat dirumuskan sebagai berikut.
(1) fungsi dalarn hubungan struktur
(2) fungsi umum (fungsi kemanfaatan)
(3) fungsi khusus (fungsi kesempurnaan jiwa)

2. Riwayat Hidup Syech Abdurrauf dan Isi Ajaran Tarekat Syattariyah

1) Riwayat Hidup Syeh Abdurrauf
Riwayat hidup Abdurrauf dapat diketahui dari beberapa sumber di antaranya kitab yang ditulisnya sendiri berjudul Umdatu l-Muhtajin ila Suluk Maslaki l-Mufradin pada bagian kesimpulan, selain itu terdapat pula dalam disertasi Rinkes yang berjudul Abdoerraoef van Singkel (Liaw Yock Fang, 1975: 198).
Abdurrauf (1615-1693)(Hassan Shadily, 1980:55) dikenal oleh masyarakat sebagai ulama, tokoh sufi, dan pengarang terkenal. la belajar di negara-negara Arab terutama di Mekah dan Yaman selama 19 tahun (id.:56). la belajar kepada beberapa ahli di antaranya: 15 orang guru, 27 orang ulama ternama, dan 15 orang sufi kenamaan (Snouck Hurgronje, 1894:16).
Guru Abdurrauf yang terkenal adalah Syeh Shafiuddin Ahmad Ad-Dajjani AI-Qusyasyi yang hidup sekitar tahun 1583-1660 (Hawash Abdullah, 1980:49-50). Ia menerima baiat tarekat Syattariyah dari AI-Qusyasyi dan menerima khirqah daripadanya, yaitu suatu tanda bahwa ia telah lulus dalam melaksanakan amalan tarekat melalui pengkajian secara suluk, tanda itu berupa selendang berwarna putih yang diberikan oleh gurunya (id.:50), yang berarti ia telah dapat membaiat kepada orang lain mengenai aiaran tarekat Syattariyah.
Nama lain dari Abdurrauf Assingkeli adalah Abdurrauf bin Ali AI-Fansuri (Hawash Abdullah, 1980:49-50). Hal ini banyak dipertanyakan orang karena penambahan TansurP di belakang namanya seakan-akan menunjuk kan adanya hubungan silsilah dengan Hamah Fansuri (Snock Hurgronje, 1894:19). Penambahan nama Fansuri kemungkinan hanya menunjuk daerah asal Abdurrauf, yang biasanya disebut Assingkeli (dari Singkel) menjadi Fansuri (dari Fansur), kedua tempat ini ada di daerah Aceh (Siti Baroroh Baried, 1985:297).
Syeh Abdurrauf wafat tahun 1693 dimakarnkan di Kuala Aceh, sampai sekarang makamnya sering diziarahi orang (Hassan Shadily, 1980:56). Kemudian ia terkenal dengan sebutan Tengku di Kuala (Winstedt, 1969:147) atau Syeh di Kuala. Sekarang nama itu diabadikan menjadi nama perguruan tinggi di Banda Aceh, yaitu Universitas Syah Kuala.

2) Isi Ajaran Tarekat Syattariyah.

Pembahasan tentang isi ajaran tarekat Syattariyah yang diuraikan di sini akan dibatasi pada sekitar isi ajaran yang terkandung dalam naskah Syattatiyalt (Istadiyantha, 1989:65-73).
Ratu Shafiyyatu d-Din mengajukan permohonan kepada Syeh Abdurrauf agar ia dibimbing melaksanakan ajaran sufi. Permohonan itu dikabulkan setelah terlebih dahulu Syeh Abdurrauf melakukan shalat istikharah) dengan maksud agar dalam melaksanakan ajaran itu memperoleh petunjuk Allah (hal.2-3).
Hubungan antara Tuhan dengan alam menurut pandangan Syattariyah dijelaskan sebagai berikut: pada mulanya alam ini diciptakan olch Allah dari Nur Muhammad. Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, ia berada di dalam ilmu Allah yang diberi nama A’yan Tsabitah (hal. 4). la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah (hal. 5). Sesudah A’yan Tsabitah ini menjelma pada A’yan Khrijiyah (kenyataan Tuhan yang berada di luar), maka A’yan Kharijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi Yang Memiliki bayang-bayang; dan ia tiada lain daripada-Nya (hal. 5).
Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh a.l.. pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa bagian sebelah kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah kiri, begitu pula sebaliknya (id.: 5). Dan jika orang yang bercermin itu berhadapan dengan beberapa cermin, maka di dalam cermin-cermin itu tampak ada beberapa orang, padahal itu semua tampak sebagai pantulan dari scorang saja (hal. 5). Perumpamaan kedua, mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan, sesungguhnya gerak tangan itu bukan tangan tetapi ia tangan itu juga (hal. 5-6). Ketiga, tentang seseorang yang bernama Si Zaid yang memiliki ilmu mengenai huruf Arab. Sebelum ia menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap (tsabit) pada ilmunya (hal. 6). Ilmu itu berdiri pada Dzatnya dan hapus di dalam keesaannya (id.). Padahal hakikat huruf Arab itu bukanlah hakikat Si Zaid (meskipun huruf-huruf itu berada di dalam ilmunya): yang huruf tetaplah sebagai huruf dan Zaid tetap sebagai Zaid. Sesuai dengan dalil Fa l-kullu Huwa l-Haqq, artinya ‘Adanya segala sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasi-Nya Yang Maha Benar’ (id.).
Di dalam teks disebutkan tentang adab berzikir dan bentuk-bentuk lafal zikir (hal. 8-9). Pelaksanaan zikir bagi penganut tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga tataran, yaitu: mubtadi,mutawasitah,dan muntahi (hal. 10). Mubtadi artinya ‘tingkat permulaan’; mutawasitah artinya ‘tingkat menengah’; dan muntahi artinya ‘tingkat terakhir’: Khusus mengenai tataran terakhir ini, di dalam teks dibicarakan secara panjang lebar. Dikatakan bahwa tataran ini dapat dicapai oleh seseorang yang mampu mengumpulkan dua makrifat: yaitu makrifat tanziyyah dan makrifat tasybiyyah (hal. 15). Makrifat tanziyyah adalah ‘suatu iktikad bahwa Allah tidak dapat discrupakan dengan sesuatu apapun’. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi batiniah/hakikatnya (hal. 15-16). Dan makrifat tasybiyyah adalah ‘mengetahui dan mengitikadkan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar’, dalam makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi lahiriahnya (hal. 15).
Pada bagian akhir teks Syattariyah dikemukakan silsilah tarckat Syattariyah dan Qadiriyah (hal. 18-20). Syeh Abdullah Syattari sebagai pendiri tarekat Syattariyah di dalam daftar silsilah sebagai ahli silsilah yang ke-15 (hal. 18). Dan Syeh Abdul Oadir AI-Jailani disebutkan pada daftar silsilah nomer urut ke-16 bagi tarekat Oadiriyah (hal. 20). Naskah selesai disalin pada hari Ahad waktu Dhuha (tanpa disebutkan bulan dan tahun), yang diperoleh dari Muharnmad Sa’id (guru penyalin naskah) (hal. 20).

3. Hubungan Antara Syariat Dengan Tarekat Syattariyah

Sebelum diuraikan tentang Hubungan Antara Syariat dengan tarekat Syattariyah, perlu diketahui terlebilih dahulu mengenai pengertian svariat dan tarekat.
Ulama mutaakhirin (ulama yang terkenal. sesudah abad ke-3 Hijriah) memberikan istilah svariat sama dengan hukum fikih (Hassan Shadily, 1984:3 . 405) yaitu ‘peraturan vang ditetapkan oleh Allah kepada kaum muslimin berdasarkan Alquran, Hadis, ljmak, dan Kias’ (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1980:31-35). Peraturan itu disusun secara  terperinci vang berhubungan dengan tatacara peribadatan, prinsip-prinsip ajaran moral dan kehidupan, serta hukum-hukum mengenai hal-hal vang diperbolehkan untuk dikerjakan, untuk mengetahui yang benar dan yang salah (Abul A’la Maududi, 1970 : 142).
Secara etimologi tarekat berasal dari kata Arab ”Tariqatun” yang berarti ‘jalan atau mazab’ (Al-Yasu’i, 1956:465) atau ‘cara’ (Gibb dan Kramers, 1953: 573). Kecuali itu tarekat diartikan ‘sebagai suatu sistem atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah dengan tujuan untuk memperoleh ridha Allah dengan dibimbing olch seorang guru/mursyid yang memiliki hubungan silsilah (ilmu tarekat) sampai kepada Nabi Muhammad Saw. (Barmawie Umarie, 1961: 116; Abubakar Aceh, 1985: 67) yang pengamalan ibadah itu lebih mengutamakan aspek batiniah daripada aspek lahiriahnya, dengan cara memperbanyak zikir kepada Allah. Oleh sebab itu tarekat merupakan suatu metode pelaksanaan teknis untuk mencapai hakikat ilmu tauhid secara haqqul yakin (LIMTI, 1989:59).
Untuk selanjutnya pembahasan mengenai hubungan syariat dengan tarekat Syattariyah di sini akan dibatasi pada tiga hal:

(1) Tinjauan secara syariat mengenai ajaran tarekat Syattariyah
(2) Tinjauan secara syariat mengenai guru tarekat Syattariyah
(3) Tinjauan secara syariat mengenai tarekat Syattariyah

(1) Secara garis besar tarekat Syattariyah mengajarkan tentang tata cara pelaksanaan zikir (hal. 8-15). Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang masalah zikir yang jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat yang menjelaskan tentang shalat, zakat, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan zikir (secara luas) memiliki kedudukan yang cukup penting dibanding dengan ibadah-ibadah yang lainnya. Pelaksanaan zikir di dalam tarekat Syattariyah dilakukan dengan jahar (bersuara) dan sirri/ khafi (dalam hati) Pembacaan zikir secara bersuara merupakan ibadah yang lazim dikerjakan dan cukup diketahui dasar-dasarnya oleh kebanyakan umat Islam. Sedangkan pembacaan zikir dengan hati kurang banyak dikenal/diketahui oleh kebanyakan umat Islam, dan ini didasarkan pada firman Allah: Berzikirlah kau dengan hatimu secara merendahkan diri dan rasa takut, zikir itu tidak diucapkan secara lisan (Q.S.Al A’raf 205). Dan didasarkan pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi sebagai berikut: Zikir yang tidak terdengar oleh Malaikat Hafazhah itu lebih utama daripada zikir secara bersuara, dengan perbandingan satu banding tujuh puluh (Adz-dzikru l-ladzi la tasma’u hu 1-Hafazhatu yazidu ‘ala dz-dzikri l-ladzi tasma’u hu l-Hafazhatu bi sab’ina dhi’fan) (LIMTI, 1985:42).

(2) Dalil-dalil yang menguatkan tentang peranan guru tarekat adalah sebagai berikut.
a.    Man laa Syaikhun Mursyidun lahu fa Mursyidu hu ‘sy-syaithaan artinva, ‘Barangsiapa tidak memiliki guru yang berderajat Mursyid, maka ia dibimbing oleh setan’ (Abu Yazid Al-Busthami dalam LIMTI, 1985: 112).

b.    Hadis Nabi: Kun ma’a’I-Laah fa in lam takun ma’a ‘I-Laah fa kun ma’a man ma’a ‘I-Laah fa innahu yuushiluka ilaa ‘I-Laah artinya ‘Hendaklah kau selalu beserta Allah, jika tidak dapat demikian besertalah dengan orang yang dekat dengan Allah, ia akan membimbingmu ke jalan Allah’ (LIMTI, 1985: 33).

c.   Alquran: ‘Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah ia tidak akan memperoleh      ‘Waliyyam Mursyida’ (pembimbing kerohanian) (Q.S. Al-Kahfi 17).

d.   Alquran: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah ‘Al-Wasilah’ (Channel..berfungsi sebagai pembimbing, bukan perantara), bersungguh-sungguhlah di jalan itu mudah-mudahan kamu sukses” (Q.S. Al-Maidah 35).

(3) Tujuan pengamalan zikir di dalam tarekat Syattariyah adalah untuk mencapai martabat insan kamil (hal. 13, 15) yaitu tingkat kesempurnaan (yang lazim menurut ukuran manusia). Tingkatan ini dapat diperoleh oleh seseorang, jika ia dapat mengumpulkan dua makrifat yaitu makrifat Tanziyyah dan makrifat Tasybiyyah, (mengetahui secara mendalam tentang sesuatu hal secara lahiriah dan batiniah). Hal ini didasarkan pada firman Allah di dalarn Alquran surat Al-Hadid ayat 11: Allah adalah Dzat yang Maha Pertama dan Maha Kemudian, Maha Lahir dan Maha Batin (hal. 17).

4. Analisis Fungsi
Di dalam pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa analisis fungsi yang akan diuraikan di sini terdiri dari tiga hal: fungsi dalam hubungan struktur, fungsi umum, dan fungsi khusus.

1) Fungsi dalam Hubungan Struktur
Berdasarkan corak khusus yang terdapat di dalam sastra kitab, kita ketahui bahwa struktur yang terkandung didalamnya berbeda dengan ragam. sastra pada umumnya. Adapun yang dimak sud dengan struktur di sini adalah struktur narasi, ialah struktur penyajian yang merupakan salah satu unsur struktur keseluruhan, yang meliputi juga unsur kebahasaan (Fakultas Sastra UGM, 1982: 152). Akan tetapi pada makalah ini tidak dibahas hal ihwal yang berhubungan dengan unsur kebahasaan Struktur penyajian teks pada sastra kitab dapat diidentikkan dengan struktur penceritaan di dalam karya sastra fiksi yang berupa plot atau alur (id. 152). Alur adalah struktur penceritaan (Wellek dan Warren, 1956: 216). Alur dibangun dari unsur-unsur yang lebih kecil (id.: 217) atau merupakan elemen struktur (Holman, 1972:513). Pengertian struktur sebagaimana dimaksudkan di atas tampak pada teks Syattariyah yang setiap bagiannya terdiri atas: 1. pendahuluan, II, isi, dan III. penutup (Istadiyantha, 1989:89-100):

I.    Pendahuluan terdiri atas:
Al:  a.    Bacaan Basmalah
b.    Bacaan Hamdalah, yaitu pujian terhadap Tuhan
c.     Bacaan Selawat nabi. Semua itu ditulis dengan bahasa Arab,  yang setiap kalimatnya disertai terjemahan dalam bahasa Melayu

B1:  Kata Amma ba’du, diterjemahkan: ‘adapun sesudah itu’. Kata itu mcrupakan ungkapan tetap untuk menyudahi bacaan pembukaan
Cl:   a.    Latar belakang penulisan naskah yang dinyatakan bahwa teks tersebut ditulis atas permintaan Ratu Shafiyyatu d-Din.
b.    Penjelasan tentang latar belakang kehidupan keagamaan Ratu Shafiyyatu d-Din, bahwa:
1.    la berpedoman pada syariat Nabi Muhammad Saw.
2.    la sebagai raja besar, adil, dan berakhlak mulia
3.    Permohonan Ratu Shafiyyatu d-Din kepada penulis teks (Syeh Abdurrauf), bahwa ia ingin menjalani kehidupan sufl di bawah bimbingannya
c.    Penjelasan tentang bahasa teks
d.    Permohonan kepada Tuhan untuk Ratu yang dilakukan olch penulis teks dengan cara shalat istikharah dan membacakan doa
II.    Isi terdiri atas:
A2.  a.    Penjelasan tentang proses terjadinya alam, hakikat alam, dan hakikat Tuhan
b.    Penjelasan tentang empat martabat tauhid yaitu: tauhid Uluuhiyyah, Af’al, Sifat, dan Dzaat
B2:  Penjelasan tentang zlkir, yang terdiri atas:
a.    Zikir Huwa ‘I-Laah dan Allaah Huwa
b.    Adab zikir
c.    Tatacara pelaksanaan zikir
d.    Asal-usul diperolehnya amalan zikir
e.    Hubungan zikir dengan makrifat Tanzih dan Tasybih
C2.  Silsilah tarekat Syattariyah dan Qadiriyah
Ill.   Penutup terdiri atas:
A3.  a.   Kata ‘Tammat’ dengan diikuti keterangan tentang waktu penulisan naskah selesai dilakukan
b.    Harapan dari penulis naskah agar pembaca dapat mengamalkan isi ajaran tersebut dengan bimbingan dari orang yang menempuh jalan akhirat
c.    Penjelasan tentang asal-usul naskah yang diperoleh oleh penyalin

Adapun skema struktur narasi tersebut sebagai berikut:
I                                                           II


Al(a-b-c) – B1 – Cl(a-bA,2,3-c-d) A2 (a-b) – B2(a-b-c-d-e) – C2

III
A3 (a-b-c)

Tanda-tanda tersebut mengikuti uraian sebelumnya (catatan: kolofon berada di luar struktur).

Pada struktur narasi di atas tampak bahwa bagian pendahuluan berfungsi sebagai pemerkuat kedudukan isi teks, yang antara lain disebutkan bahwa: penulisan teks dilakukan atas permintaan Ratu Shafiyyatu ‘d-Din; Ratu sebagai seorang pemimpin besar yang berakhlak mulia dan berpedoman pada syariat Nabi Muhammad Saw.; la berkeinginan melaksanakan ajaran sufi di bawah bimbingan Syeh Abdurrauf; permintaan itu disetujui setelah terlebih dahulu ia melakukan shalat istikharah dan memanjatkan doa.
Selanjutnya, urutan yang terdapat pada bagian isi, tampak ada kemiripan dengan tata urutan yang lazim dipergunakan pada tatacara pendidikan tarekat-tarekat pada umumnya. Pada bagian ini dapat diringkaskan menjadi sebagai berikut: pertama, berfungsi sebagai informasi yang berhubungan dengan masalah keTuhanan; kedua, tatacara melaksanakan ibadah (zikir); dan ketiga, hasil yang diperoleh setelah melaksanakan zikir tersebut. Penjelasan tentang masalah makrifat dan silsilah tarekat dikemukakan secara beriringan, hal ini disesuaikan dengan tatacara pendidikan tarekat, yaitu bahwa makrifat dan silsilah tarekat biasanya dapat diperoleh oleh seseorang murid setelah terlebih dahulu memperoleh penjelasan tentang masalah ketauhidan dan pelaksanaan zikir dengan pengujian secara suluk/riyadhah/mujahadah.

Adapun bagian penutup dikemukakan tentang: kata penutup Tammat, harapan dari penulis teks agar para pembaca dapat melaksanakan ajaran tersebut; dan asal-usul diperolehnya naskah. Pada bagian terakhir teks Syattariyah terdapat uraian yang berada di luar struktur naskah, yaitu bagian kolofon.

Sesuai dengan tata urutan masalah yang dikemukakan di dalam teks, dapat dikemukakan seperti pada bagan sebagai berikut:


PENDAHULUAN ISI
Murid Melamar Guru meneri-ma * Guru Menjelaskan Murid melaksanakan Murid lulus, memperoleh makrifat & mengenal silsilah tarekat







*) Terlebih dahulu melakukan shalat Istikharah


PENUTUP
Tamat Dakwah
Kolofon Di luar  struktur



1) Fungsi Umum.

Sebelum sampai pada pembahasan selanjutnya, terlebih dahulu  dibicarakan tentang macam-macam motivasi peribadatan dan hubungannya dengan fungsi-fungsi yang akan dibahas lebih lanjut.
Imam Yahya An-Nawawi membagi amal kebaikan menjadi tiga macam (Ali Usman, 1976: 26l):
(1)   Amal hamba sahaya, yaitu beramal karena didorong oleh rasa takut kepada Tuhan, hal ini dianalogikan dengan hubungan antara hamba sahaya dengan majikan/tuannya.
(2)   Amal saudagar, yaitu beramal karena didorong untuk mendapatkan laba/keuntungan atau pamrih tertentu.
(3)   Amal orang merdeka, yaitu beramal karena adanya suatu kesadaran melaksanakan kewajiban, pengabdian, dan rasa syukur kepada Tuhan.
Hubungan antara ketiga ”Amal” di atas dengan fungsi umum dan fungsi khusus di dalam pembahasan ini digambar pada bagan sebagai berikut:

1) Amal hamba sahaya Fungsi umum
2) Amal Saudagar
3) Amal orang merdeka Fungsi khusus

Pada bagan ini dapat kita baca bahwa nomer 1 dan 2 menunjukkan fungsi umum dan nomer 3 fungsi khusus.
Beberapa catatan yang terdapat di dalam teks Syattatiyah menunjukkan adanya fungsi umum adalah:
(1)   ”Maka apabila zhahirlah padanya faedah zikir Laa ilaaha illaa I- Laah, kemudian maka zikir Allaah Huwa. karena bahwa adalah dua zikir ini terlebih sangat faedahnya” (hal.8).
(2)   “Demikianlah dikerjakan  ahlu I-Laah pada segala tempat yang sunyi hingga mesralah zikir itu di dalam hatinya, dan tiadalah yang terlebih dikasihinya dan nikmat padanya hanya zikir jua” (hal. 12).
(3)   “Demikianlah dikerjakan pada ketika duduknya atau berjalan atau tatkala hendak     (-lah) tidurnya, maka adalah faedahnya itu terlebih nyata dengan berkah mengejakan dia mengerjakan dia” (hal. 12).
Pada catatan di atas disebutkan bahwa hasil dari pelaksanaan zikir tersebut besar faedahnya, namun tidak disebutkan faedah tersebut secara eksplisit. Pada dasarnya fungsi umum di sini merupakan pengambilan manfaat terhadap sesuatu ibadah untuk kepentingan lahiriah yang masih dalam batas-batas ajaran Islam, misaInya pengobatan, ilmu gaib, dan sebagainya (pengobatan dan ilmu gaib ada yang sesuai dengan syariat Islam dan ada pula yang kurang dapat dipertanggungjawabkan secara syariat (lihat Istadiyantha, 1989: 111-117).

2) Fungsi Khusus.

Di dalam teks Syattariyah diperoleh keterangan bahwa tujuan khusus ajaran ini adalah untuk mencapai makrifat kepada Tuhan (hal. 15-17). Untuk memperoleh tingkatan ini, seseorang harus terlebih dahulu melalui tingkatan pelaksanaan syariat, tarekat, dan hakikat. Pada uraian sebelumnya telah dibahas tentang pengertian syariat dan tarekat, untuk melengkapi uraian tersebut di sini akan dikemukakan pengertian hakikat dan makrifat.
Hakikat berasal dari kata Arab ”haqiiqatun” yang berarti ‘kebenaran’, kata ini dapat dihubungkan dengan kata ”haqq” yang juga berarti ‘kebenaran’; Al-Haqq berarti ‘Tuhan’: maka hakikat diartikan ‘sebagai kebenaran yang berhubungan dengan masalah ke-Tuhanan’. Kecuali itu, Ibnu Arabi mengatakan bahwa sesungguhnya hakikat dari segala yang maujud ini adalah satu, yang berada di dalam kenyataan (jauhar) dan Dzat-Nya; jika ditinjau dari segi Dzat-Nya dikatakan Itulah “Haqq”, tetapi jika dilihat dari segi nama dan sifatnya terdapat beberapa kemungkinan, yaitu makhluk dan alam (Abubakar Aceh, 1984:67). Jadi hakikat mcrupakan kebenaran mutlak yang bersifat lahiriah dan batiniah (Istadiyantha, 1988:11).
Makrifat berasal dari kata Arab “ma’rifatun” yang berarti ‘pengetahuan, pengenalan’. Dalam ajaran tasauf makrifat diberi pengertian ‘sebagal pengenalan tentang kemahabesaran Tuhan melalui penghayatan batin dengan cara bersungguh-sungguh (dengan sabar dan ikhlas) dalam melaksanakan ibadah’. Beberapa istilah makrifat yang lain di antaranya: jnanasandhi adalah ‘rahasia pengetahuan’ (Sri Mulyono, 1983: 62), dan gnosis adalah ‘pengetahuan tentang hal batin (gaib) atau tasauf’.
Menurut AI-Gazali makrifat dibagi menjadi dua macam (Abubakar Aceh, 1984: 69-70; AI-Taftazani, 1985: 174-175):

(1)   Ilmu Adna yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan cara membaca atau belajar (pengetahuan yang bersifat lahiriah, pen.), yang kebenarannya diperoleh melalui pembuktian ilmiah.

(2)   Ilmu Ladunni yaitu pengetahuan tentang rahasia ke-Tuhanan yang diperoleh secara spiritual berdasarkan karunia Allah semata-mata.
Pengertian makrifat yang sesuai dengan pengertian yang dimaksud di dalam teks Syattariyah adalah pengertian yang kedua tersebut.
Dalil-dalil Alquran dan Hadis yang sesuai dengan pengertian Ilmu Ladunni/ makrifat ini adalah sebagai berikut:
(1).  Alquran surat AI-Kahfi: 65: “Maka ia (Nabi Musa) bertemu dengan hamba Kami (Nabi Khidzir) yaitu seorang hamba dari beberapa hamba Kami yang telah memperoleh rahmat dan ilmu pengetahuan (IImu Ladunni, pen.) dari sisi Kami?. Nabi Khidzir ketika itu mampu melihat jarak jauh (hal yang akan terjadi, clairvoyance).
(2).  Hadis riwayat Abu Abdirrahman Assalam dari Abu Hurairah: ”Sesungguhnya llmu Ladunni itu merupakan ilmu yang bersifat rahasia (tertutup rapat), yang tidak mudah dipahaminya kecuali oleh orang-orang yang makrifat kepada Allah. Jika ada orang yang membicarakan ilmu itu, terdiri dari orang-orang yang tertipu yang jauh dari Tuhan, maka sukarlah untuk memahaminya. Maka dari itu janganlah kau meremehkan orang yang memiliki ilmu tersebut, karena Tuhan saja tidak meremehkannya, terbukti Dia telah menganugerahi ilmu itu kepada orang tersebut (AI-Gazali dalam Ismail Yakub, 1979: 97-98).

5. Teks Syattariyah dan Pengertian Makrifat

Di dalam naskah Syattariyah dikemukakan tentang tiga pengertian ma’rifat yaitu (hal. 15):
(1)   Makrifat Tanziyyah adalah pengetahuan makrifat yang diperoleh dengan cara memperhatikan/ mempelajari segala sesuatu dari segi batiniah/hakikatnya. Orang yang memiliki makrifat ini mengiktikadkan bahwa Allah tidak dapat diserupakan dengan sesuatu apapun. Hal ini didasarkan pada Alquran surat Asy-Syura: 11.
(2)   Makrifat Tasybiyyah adalah ma’rifat yang diperoleh dengan cara mempelajari segala sesuatu dari segi lahiriahnya. Di dalam makrifat ini mereka mengiktikadkan bahwa Allah memiliki sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat (Q.S.Asy-Syura: 11).
(3)   Himpunan antara makrifat Tanziyyah dan Tasybiyyah, yaitu makrifat yang diperoleh oleh orang-orang sufl dengan cara mempelajari segala sesuatu dari segi lahiriah dan batiniahnya. Makrifat inilah yang dianggap sempurna oleh orang-orang sufi, hal ini didasarkan kepada firman Allah bahwa “Ia (Maha Kuasa) terhadap hal-hal yang lahir dan yang batin (Q.S. Al-Hadid: 3). Pendapat ini dikuatkan pula oleh Syech Abu Sa’id Al-Harazi bahwa ”Hakikat ke-Tuhanan itu dapat dikenal meialui pemaduan dari dua hal yang bertentangan” (hal. 18).
Berdasarkan keterangan di atas dapat kita ketahui bahwa fungsi khusus naskah Syattariyah adalah untuk memberikan penjelasan kepada pembaca tentang masalah ketauhidan dan hal ihwal ma’rifat.

6. Simpulan/Penutup

Naskah Syattariyah merupakan salah satu karya dari beberapa karya Syeh Abdurrauf Assingkeli (1615-1693) yang dapat digolongkan ke dalam sastra kitab. Naskah itu ditulis oleh Abdurrauf berdasarkan anjuran Ratu Shafiyyatu d-Din yang memerintah di Aceh sekitar tahun 1641-1675. Ratu juga meminta kepada Syeh Abdurrauf agar ia membimbing dalam melaksanakan ajaran tasauf. Dengan tampilnya Ratu Shafiyyatu d-Din di dalam penulisan naskah dan ajaran tasauf yang dibawanya, dapat memperkuat kedudukan Syeh Abdurrauf dalam arti ikut memperkuat keberterimaan ajaran-ajaran yang dibawanya bagi masyarakat.
Terhadap ajaran Syattariyah terdapat pihak yang menganggapnya sebagai ajaran yang sesat dan ada pula yang menganggapnya sebagai aliran yang sesuai dengan syariat Islam. Berdasarkan anafisis terhadap teks Syattariyah tersebut dapat diketahui bahwa ajaran tarekat ini masih dapat dipertanggungjawabkan secara syariat.
Analisis fungsi yang dimaksudkan dalam pembahasan ini terdiri dari tiga hal: fungsi dalam hubungan struktur, fungsi umum, dan fungsi khusus. Pada naskah tersebut tampak bahwa antara bagian satu dengan yang lain saling berkaitan dan tersusun secara sistematis, kecuali pada bagian kolofon yang berada di luar struktur. Fungsi umum membahasa dari  aspek ibadah pada segi lahiriahnya, sedangkan fungsi khusus membahas pada aspek batiniahnya.




Daftar Pustaka

Abubakar Aceh, 1984. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf. Sala: Ramadhani

____________, 1985. Pengantar Ilmu Tarekat. Sala: Ramadhani

Abul A’la Maududi, 1970. Toward Understanding Islam. Jilid VII. USA: International Islamic Federation of Student Organizations.

Al-Gazali, 1979. lhya’ Al-Ghazali. Terjemahan H. Ismail Jakub. Jilid 1. Semarang:  Faizan.

Ali Usman, K.H.M., 1976. Hadits Qudsi. Bandung: Diponegoro.

Al-Taftazani, Abu AI-Wafa’Al-Ghanimi, 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terjemahan Ahmad Rofi’ ‘Utsmani’. Bandung: Penerbit Pustaka.

Al-Yasu’i Al-Abu Luis Ma’luf, 1956. AI-Munjidu fi Lughah wa l- Adaab wa l-’Uluum. Beirut: A.P. Katalikiyya.

Barmawie Umarie, 1961. Sistematik Tasawuf. Sala: Ramadhani.

Ekadjati, ES, 1982. Ceritera Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya

Fakultas Sastra UGM, 1982. Memahami Karya-Karya Nuruddin Arraniri (laporan Penelitian). Yogyakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan “Jakarta”.

Gibb, H.A. R. dan Kramers, J.H., 19,53. Shorter Encyclopaedia of Islam. New York: Ithaca, Cornell University Press.

Hasbi Ash-Shiddieqy, M, 1980. Pengantar Hukum Islam. Jilid 1. Jakarta: Bulan Bintang.

Hassan Shadily, 1980. Ensiklopedia Indonesia. Jilid I. Jakarta: Penerbit Buku Ichtiar Baru- van Hoeve.

Hawash Abdullah, 1980. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh- tokohnya di Nusantara. Surabaya: Al-Ikhlas.

Holman, C. Hugh, 1980. A Handbook to Literature. Indianapolis: Bobb Merrill Educational Publishing

Hurgronje, C. Snouck, 1894. De Atjehers. Jilid II. Batavia: Landsdrukkerij – Leiden: E.J. Brill

Imran Teuku Abdullah, 1988. Hikayat Meukuta Alam, Suntingan Teks dan Terjemahan beserta Telaah struktur dan Resepsinya. (Desertasi). Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada

lstadiyantha, 1988. “Pengantar Pengkajian Sastra Sufi”. (Makalah). Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia X Se-Jawa Tengah den DIY. Sukoharjo – Surakarta: IKIP Veteran.

—————, 1989. Syattariyah, Suntingan Naskah dan Analisis Fungsi (Tesis). Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana UGM.

—————, 2002. “Perbedaan Sastra Sufi dan Sastra Mistik”. Dalam Bahasa dan Sastra Indonesia Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI. (PIBSI XXXIII di Universitas Ahmad Dahlan). Yogyakarta: Gama Media Yogyakarta.

Liaw Yock Fang, 1975. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klassik. Singapura: Pustaka Nasional

LIMTI (Lembaga Ilmiah Metafisika dan Tasauf Islam), 1985. Mutiara AI-Qur’an dalam: Capita Selecta tentang Agama, Metafisika, Ilmu Eksakta. Jilid III. Medan. Univ. Pembangunan Panca Budi.

______________1989. Teknologi Alqur’an. Medan: Unpab.

Luxemburg, Jan van, 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Scholes, Robert, 1977. Structuralisme in Literature. New Haven and London: Yale Univ. Press.

Schrieke, B.J.O., 1973. Pergolakan Agama di Sumatra Barat. Terjemahan Soeganda Poorbakawatja. Jakarta: Bhratara.

Siti Baroroh Baried, 1985. “Perkembangan Ilmu Tasawuf di Indonesia: Suatu Pendekatan Filologis”, dalam Sulastin Sutrisno (ed.). Bahasa – Sastra – Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press.

Sri Mulyono, 1983. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: Gunung Agung.

Teouw, A, 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Wellek. Rene dan Austin Warren, 1956. Theory of Literature. New York: Harcourt, Braco & World, Inc.

Winstedt, R.O ., 1969. A History of Classical Malay Literature. London: Oxford Univ. Press.

Rantai Silsilah Washitah Syaththariyah



Junjungan Nabi Muhammad SAW (609–632 M) kepada:

Periode I
1. Imam Ali bin Abu Thalib As (632 – 661 M)

Periode II
2. Imam Hasan Asy Syahid As (661 – 670 M)

Periode III
3. Imam Husain As (670 – 684 M)

Periode IV
4. Imam Zainal Abidib As (684 – 718 M)

Periode V
5. Imam Muhammad Al Baqir As (718 – 771 M)

Periode VI
6. Imam Ja’far Shodiq As (737 – 771)
7. Imam Musa Al Kadzim As (771 – 806 M)
8. Imam Ali bin Imam Musa Al Kadzim (806 – 826 M)
9. Imam Muhammad Al Jawad As (826 – 843 M)
10. Imam Ali bin Muhammad Al Hadi (843 – 877 M)
11. Imam Abu Yazid Al bustomi (mendapat ijin dari Imam Ali bin Muhamamad memberi petunjuk ilmu pintunya mati)
12. Imam Hasan Al Askari As (877 – 883 M)
13. Imam Al Mahdi Al Muntadzar As. (883 – 955 M), demi ke-selamatan dari ancaman pembunuhan oleh penguasa maka atas kehendak dan petunjuk Allah SWT disembunyikan pada tempat yang aman hingga selamat 69 tahun tugas beliau dijalankan oleh empat orang wakil berturut-turut (883 – 952 M) yaitu : Usman bin Saad Al Umari Al Asadi, Muhammad bin Usman, Al Husain bin Ruh Al Naubati dan Ali bin Muhammad Al Samir

Periode VII
14. Syekh Muhammad Al Maghribi As (955 – 1007 M)
15. Syekh Arabi Al Asyiqi As (1007 – 1074 M)
16. Syekh Qutb Maulana Rumi Ath Thusi As (1074 – 1132 M)
17. Syekh Qutb Abu Hasan Al Hirqon As (1132 – 1176 M).
18. Syekh Hud Qaliyyu Mawaran Nahar As (1176 – 1249)
19. Syekh Muhammad Asyiq As (1249 – 1312)
20. Syekh Muhammad Arif As (1312 – 1376)

Periode VIII
21. Syekh Abdullah Asy Syaththar As (1376 – 1429)
22. Syekh Hidayatullah Saramat As (1429 – 1464)
23. Syekh Al Hajji Al Hudhuri As (1464 – 1520)
24. Syekh Muhammad Al Ghauts Hataruddin As (1520 – 1562)
25. Syekh Wajhuddin As (1562 – 1580)
26. Syekh Saifullah bin Syekh Ruhullah As ( 1580 – 1601)
27. Syekh Ibnu Mawahib Abudllah Ahmad bin Ali Isa (1601 – 1620)
28. Syekh Muhammad Ibnu Muhammad As (1620 – 1652)

Periode IX
29. Syekh Abudrrauf Assinkily As, Aceh ( 1652 – 1690)
30. Syekh Abdul Muhyi As. Pamijahan (1690 – 1718)
31. Syekh Mas Bagus Muhyidin As, Pamijahan ( 1718 – 1726)
32. Syekh Mas Bagus Nida As. Pamijahan ( 1726 – 1735)
33. Kiyai Mas Muhammad Sulaiman As (Pangeran Atas Angin I), Bagelen Jateng ( 1735 – 1749). Sebelum beliau istiqomah domisilinya, oleh Gurunya dan atas kehendak dan petunjuk Allah Swt, tugas untuk memberikan petunjuk Ilmu pintunya mati dititipkan kepada Kiayai Mustahal Surakarta.

Periode X
34. Mas Bagus Nuriman As (Pangeran Atas Angin II), Bagelen Jawa Tengah (1749 – 1769).
35. Kiyai Kun Nawi As. (Pangeran Atas Angin III), Bagelen Jateng ( 1769 – 1780).
36. Kiyai Ageng Margono As (Raden Margono, Kiayi Mas Bagus Muhyi Al Jawi), Kincang Maospati (1780 – 1799), yang sebelum domisilinya istiqomah, oleh Gurunya dan atas kehendak dan petunjuk Allah Swt, tugas untuk memberikan petunjuk Ilmu pintunya mati dititipkan kepada Kiayi Mas Bagus Amaddi, Tulungagung.
37. Kiayi Ageng Rendeng As (Kiayi Mas Bagus Ahmad Kusen), Maospati (1799 – 1811)
38. Kiyai Ageng Sepet Aking As ( Kiyai Mas Bagus Ahmad Kasan), Maospati (1811 – 1820).
39. Kiayi Ageng ‘Aliman As, Pacitan (1820 – 1827)
40. Kiayi Ageng Ahmadiya As. Pacitan (1827 – 1836)
41. Kiayi hajji Abdurrahman As., Tegalerejo Magetan (1836 – 1854).

Periode XI
42. Nyai Ageng Harjobesari As, Tegalrejo Magetan (1854 – 1876), yang sebelum domisilinya istiqomah, oleh Gurunya dan atas kehendak dan petunjuk Allah Swt, tugas untuk memberikan petunjuk Ilmu pintunya mati dititipkan kepada Kiayi Ageng Wignyowinata Caruban Madiun dan karena beliau ini perempuan maka mempunyai delapan orang wakil yang semuanya laki-laki termasuk suaminya.
43. Kiayi Hasan Ulama As, Takeran Magetan (1876 – 1916).
44. Kiayi Haji Imam Muttaqin As, Takerang Magetan (1916 – 1936), atas pentunjuk Allah Swt dan izin Gurunya diserahkan sementara/dititipkan kepada Kiayi Abdul Syukur; Takeran, kemudian dikembalikan kepada,
45. Kiayi Imam Mursyid MuttaqinAs, Tekeran Magetan ( 1936 – 1948).
46. Kiyai Muhammad Kusnun Malibari As, Tanjung Anom Nganjuk (1948 – 1979).

Periode XII
47. Kiayi Haji Mohammad Munawwar Affandi, Tanjung Anom Nganjuk ( 1979 – sekarang)
48. Tengah dipersiapkan sebagai calon penerus.