( sebelum baca, saya harapkan memfidyahkan bacaan surah Alfatihah 1x saja kepada Syekh Muhammad Nafis Bin Idris Al-Banjari )
Nisbah Perbuatan
Dalam sejarah perjuangan Rasulullah Saw. di Makah khususnya, beliau
tidak pernah mendoakan kaum quraisy dan orang2 yang menyakitinya,
melainkan: "Ya Allah ampunilah mereka, karena sesungguhnya mereka tidak
tahu." Ini doa beliau untuk mereka.
Sifat beliau ini dapat
dijadikan cermin bagi orang-orang yg sedang menuju kepada-Nya. "Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakal kepada-Nya." (Ali 'Imran: 159)
Hidayah
Dengan hidayah tersebut, seseorang dapat mengatasi syirik yang meliputi
perjalanan menuju kepada-Nya. Dengan hidayah itu pula, seseorang dapat
membangun kesadaran di dalam memandang dan meyakini segala wujud majazi
(metafora) itu fana. Yakni sesuatu yang tampak secara kasat mata maupun
mata hati, sirna di bawah Nur Wujud Allah yang merupakan Wujud hakiki.
Inilah yang dinamakan syuhud.
Syuhud adalah memahami segala
perbuatan makhluk bersumber dari Allah SWT. Untuk mencapainya, harus
melalui proses mengamalkan pemahaman tersebut, kendatipun pemahaman itu
tumbuh secara bertahap sampai benar-benar yakin, Jika syuhud telah
terpelihara di dalam hati, maka pada akhirnya akan merasakan pula
lezatnya musyahadah.
Musyahadah itu penyaksian terhadap sesuatu
dan dikembalikan kepada Allah. Penyaksian di sini, "melihat" secara
jelas perbedaan antara lahir dan batin pada diri sesuatu, yang keduanya
tidak bercampur dalam satu wujud, juga tidak berpisah dalam lain wujud.
Jika telah mengalami musyahadah, maka proses selanjutnya mengantarkan
seseorang pada maqam (tingkatan) Wihdatul Af'al.
Baik & Buruk
Pengertian Wihdatul Af'al ialah ke-Esa-an Allah dalam segala perbuatan.
Pada maqam ini, terjadi fana atau peniadaan pada perbuatan makhluk,
baik perbuatan sendiri maupun orang lain, bahkan semua perbuatan yg
dilakukan oleh makhluk, seluruhnya fana di bawah Perbuatan Allah SWT.
Dengan pengertian, manakala perbuatan makhluk dihadapkan kepada
Perbuatan Allah niscaya perbuatan makhluk itu menjadi lenyap tidak
kelihatan, seperti lampu pijar 5 watt yang nyala disiang hari dan
dihadapkan pada cahaya matahari. Begitu pula seluruh perbuatan yang
terjadi di alam semesta, apakah perbuatan itu baik atau buruk, semuanya
dilihat sebagai Perbuatan Allah SWT.
Karena pada persoalan ini,
masih banyak orang yang melihat perbuatan Allah itu hanya dari sisi
pengagungan, artinya melihat Allah hanya dari persoalan yang baik-baik
saja sesuai kacamata makhluk, seperti perbuatan baik yang meliputi
makhluk dapat dengan mudah dinisbahkan kepada
Allah dan setiap orang bisa menerimanya secara aksiomatis.
Berbeda dengan perbuatan tercela, banyak orang tidak menerima jika
perbuatan buruk yang keluar dari makhluk dinisbahkan kepada Allah.
Padahal baik dan buruk itu hanya sebuah nama yang menjadi simbol hukum
dalam menentukan sikap sebagai paradigma syariat.
Perlu dipertegas di sini, tauhid itu lepas dari ikatan hukum
lahiriah, meskipun tidak keluar dan lepas dari rangkaian tali-tali Syariat Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Adapun yang menjadi dalil untuk mengatakan bahwa perbuatan tidak baik
tersebut juga bersumber dari Allah SWT adalah sebagaimana hadis Nabi
Saw. dalam doanya yang termaktub pada Kitab Addurun Nafis: "Ya Tuhanku.
Sesungguhnya aku berlindung dengan-Mu dari-Mu."
Doa ini, dapat
ditafsirkan sebagai permintaan beliau dalam berlindung kepada Allah,
dari segala bentuk kejahatan yang datangnya juga dari Allah. Seandainya
kejahatan itu bukan dari Allah, tentu saja Nabi kita tidak akan berdoa
dengan doa seperti itu.
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa
segenap perbuatan, baik dan buruk pada dasarnya berasal dari Yang Satu
yaitu Allah SWT, hal ini juga ditegaskan dalam Alquran "Katakanlah:
Semuanya (datang) dari sisi Allah." (An Nisaa': 78).
Di antara
arifin billah (orang yang telah mengenal Allah), ketika menggambarkan
perbuatan baik dan buruk yang ada di alam semesta ini, membuat ilustrasi
hubungan antara hamba dengan Tuhan, melalui perumpamaan wayang dengan
dalang.
Hamba diumpamakan sebagai wayang sedangkan Tuhan
diumpamakan sebagai dalangnya. Wayang bergerak ke sana ke mari dan
menjalankan perannya sesuai dengan keinginan sang dalang. Demikian juga
makhluk,perbuatannya selalu di bawah kendali Sang Khalik.
Perumpamaan ini hanya sekedar mendekatkan paham saja, bukan pada yang
sebenarnya. Maha Suci Allah dari segala perumpamaan yang tidak layak
bagi diri-Nya. Gambaran pemahaman tersebut, kendati di satu sisi sebagai
upaya mengarahkan pemahaman yang tidak harus dimaknai secara hakiki.
Namun di sisi lain, adalah contoh pelajaran kepada para pejalan yang
sedang menuju Allah, agar di dalam mempelajari ilmu tauhid dan hakikat
tidak melanggar syariat Nabi Besar Kita Muhammad Saw. "Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu
merusakkan (pahala) amal-amalmu." (Muhammad: 33)
Wayang hanya
sekedar benda mati yang dihidupkan oleh yang hidup (dalang), maka
bagaimana wayang bisa mengakui punya sesuatu, tidak punya sesuatu saja,
tidak punya. "LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAHIL 'ALIYYIL 'AZHIIM"
(Tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan daya dan upaya Allah Yang Maha
Tinggi lagi Maha Agung).
Zindik & Murtad
Jika
telah mengerti hakikat perumpamaan tersebut, maka seyogianya dalam
kondisi apapun, wajib bagi para salik mengerjakan segala perintah dan
menjauhi setiap larangan Allah dan Rasul-Nya dengan bimbingan seorang
Mursyid.
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya." (An Nisaa': 59).
Karena, siapa pun orang
yang sudah sampai pada maqam ruhaniah tertentu, dan seberapa pun tinggi
maqam yang telah dicapainya, hal itu tidak menjadi alasan untuk
kemudian menggugurkan taklif syara' (tanggung jawab syariat). Sebab
ketika syariat diabaikan, maka saat itulah seseorang menyandang predikat
Kafir Zindik. Na'udzubillahi
Minzdalik (kita berlindung kepada Allah dari hal yang demikian).
"Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (Ali 'Imran: 32).
Berarti, kendati sudah mencapai maqam tauhidul af'al misalnya, lalu
serta-merta boleh mengabaikan Syariat Islam, tentu saja tidak! Oleh
karena itu, di samping meneguhkan diri dalam posisi tauhidul af'al, juga
harus senantiasa berpegang kepada syariat Nabi besar Muhammad Saw.
Kendati dalam maqam tauhidul Af'al, seorang salik harus menyaksikan
dengan pandangan hatinya, bahwa perbuatan baik dan jahat itu berasal
dari Allah SWT. Maksudnya, agar terlepas dari bahaya syirik khafi maupun
lainnya yang dapat menghalangi untuk sampai kepada Allah SWT.
Sebab, jika masih menganggap setiap perbuatan yang dilakukan itu sebagai
perbuatan sendiri, maka berarti belum terbebas dari syirik khafi maupun
syirik jali, yang keduanya merupakan penghalang sampai kepada-Nya.
"Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah." (Yusuf: 106).
Ayat ini menggambarkan bahwa kebanyakan manusia itu tidak beriman
kepada Allah, bahkan banyak yang menyekutukan-Nya dengan sebab memandang
wujud selain Allah. Hal ini terjadi, karena menganggap perbuatan yang
keluar dari makhluk dikembalikan kepada makhluk, seharusnya: "INNAA
LILLAAHI WAINNAA ILAIHI RAJI'UUN" (Sesungguhnya kami adalah milik Allah
dan kepada-Nya kami kembali).
Berkaitan dengan surat Yusuf ayat
106 di atas. Sayyid Umar Ibn Al Farid ra. menyatakan: "Andaikata
terlintas di dalam hatiku suatu kehendak selain kehendak-Mu, jika diriku
lupa sekalipun maka kuhukumkan diriku Murtad."
Di kalangan
arifin billah, banyak yang mempunyai komitmen seperti beliau. Dengan
nada radikal memvonis dirinya Murtad, hanya karena lupa sejenak kepada
Allah. Bagi para salikin, sebaiknya jangan ikut-ikutan seperti mereka
yang telah sampai kepada-Nya. Cukup menata diri jadi orang Mukmin yang
sejati. Kemudian senantiasa belajar memandang bahwa tidak ada yang
berbuat dan tidak ada yang hidup dalam wujud alam ini, kecuali Allah
SWT.
Surga Ma'rifah
Dengan menjadi seorang Mukmin yang
sejati, bahkan menyandang predikat ahli tauhid. Maka balasan surga
menjadi pantas dilimpahkan kepadanya. "Dan bagi orang yang takut akan
saat menghadap Tuhannya memperoleh dua Surga." (Ar Rahman: 46).
Seorang Mukmin sejati akan memperoleh dua kenikmatan surga:
Surga ma'rifah kepada Allah di dunia ini. Surga ini dapat digambarkan
dengan kesenangan seorang hamba yang benar-benar telah mengenal
Tuhannya.
Surga akhirat, surga yang umumnya telah dipahami oleh
kebanyakan orang-orang yang beriman, sebagaimana digambarkan dalam
Alquran maupun Alhadits.
Syekh Abdullah Ibn Hijazi Asy Syarqawi
Al Misri ra. berkata: "Barang siapa yang masuk ke dalam surga ma'rifah
di dunia ini, niscaya ia tidak merindukan surga akhirat dengan nisbah
bidadari-bidadari yang molek dan semua kenikmatan yang ada di dalamnya.
Kerinduannya terhadap surga akhirat itu, tidak lain ingin berjumpa
dengan Allah."
Perbedaan sikap di dalam memandang surga, antara
arifin billah dengan orang awam disebabkan: arifin billah itu sebagai
pelaku dalam surga ma'rifah, berbeda dengan orang awam yang hanya bisa
mendambakan kenikmatan surga akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar